MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN
“EKSISTENSI MANUSIA DAN
PENGEMBANGAN DIMENSI-DIMENSI MANUSIA DALAM PROSES PENDIDIKAN”
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
IMELDA VERONICA GEA
7133341114
A-EKSTENSI

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2015
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia
dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Manusia
membutuhkan pendidikan untuk membantu pengembangan aktualisasi dirinya.
Sebaliknya keberadaan pendidikan tergantung pada keberadaan manusia itu
sendiri. Menurut M. Noor Syam (1984), tujuan
pendidikan adalah agar seseorang mempunyai kepribadian yang sesuai dengan
nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan merupakan suatu
kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia karena dengan adanya pendidikan
maka akan terbentuklah manusia yang
seutuhnya.
Semakin
tingginya ilmu pengetahuan dan teknologi, membuat
manusia banyak menciptakan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhannya untuk
hidup sesuai dengan kodratnya. Bersamaan
dengan perkembangan zaman tersebut, membuat ilmu pengetahuan dan teknologi banyak
disalahgunakan manusia sehingga melupakan faktor eksistensi manusia, yang merupakan
tujuan dari pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya tersebut ditujukan.
1.2
Rumusan
Masalah
Untuk
lebih sistematis, maka saya akan merumuskan masalah-masalah pokok yang akan
dibahas dalam makalah ini, diantaranya adalah:
1. Apa
pengertian manusia?
2. Apa
pengertian eksistensi?
3. Bagaimanakah
tahap-tahap eksistensi manusia?
4. Bagaimanakah
dimensi-dimensi eksistensi manusia?
5. Bagaimanakah
pengembangan dimensi-dimensi manusia dalam proses pendidikan?
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka saya akan memberikan beberapa tujuan penulisan
makalah ini, diantaranya adalah:
1.
Untuk mengetahui
pengertian manusia.
2.
Untuk mengetahui pengertian
eksistensi.
3.
Untuk mengetahui
tahap-tahap eksistensi manusia.
4.
Untuk mengetahui dimensi-dimensi
eksistensi manusia.
5.
Untuk mengetahui
pengembangan dimensi-dimensi manusia dalam proses pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Manusia
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2005:714) manusia diartikan sebagai “makhluk yang berakal
budi” (mampu menguasai makhluk yang lain). Drijarkara dalam bukunya
Filsafat Manusia (1969:7) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
berhadapan dengan dirinya sendiri. Manusia melakukan, mengolah diri sendiri,
mengangkat dan merendahkan diri sendiri. Dia bisa bersatu dengan dirinya
sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan
itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan
kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya,
bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya.
Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam. Perhatikan
hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan
teknik. Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan
merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam
tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia
tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan
merubah manusia.
Berikut diuraikan pendapat para filosof
Barat tentang pengertian manusia ini sebagai berikut:
- Plato memandang manusia pada hakikatnya sebagai suatu
kesatuan pikiran, kehendak, dan nafsu-nafsu.
- Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk rasional
yang memiliki kesatuan organik antara tubuh dan jasad.
- Sartre mendefinisikan manusia sebagai “nol yang menolkan”
yang bukan merupakan objek melainkan subjek, yang kodratnya bebas (Loren
Bagus, 2000:266)
Socrates
(470-399 SM), mengatakan tentang hakikat
bahwa manusia adalah makhluk yang dalam dirinya tertanam jawaban mengenai
berbagai persoalan dunia. Manusia bertanya tentang dunia dan masing-masing
mempunyai jawaban tentang dunia. Seringkali manusia itu tidak menyadari bahwa
dalam dirinya terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang dipertanyakannya.
Oleh karena itu, perlu adanya bantuan orang lain untuk mengemukakan
jawaban-jawaban yang masih terpendam tersebut. Diperlukan orang lain untuk
melahirkan ide yang ada dalam manusia itu (Ahmad Tafsir, 2006:8).
Dari
kalangan pemikir abad moderen, pembahasan manusia oleh Dr. Alexis Carrel
(peletak dasar ilmu humaniora Barat) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang misterius. Kedudukan manusia yang terpisah dari dirinya menyebabkan aspek
kajian dunia luar manusia lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa, kajian
tentang manusia secara menyeluruh sulit untuk dipahami dan tidak pernah selesai
untuk dikaji. Ketika dari satu aspek selesai dipahami, maka akan timbul aspek
lain yang belum dibahas (Ahmad Tafsir , 2006:8)
Sejak
lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat didalam kegiatan pendidikan dan
pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan dididik oleh orangtua,
keluarga, dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai
kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan
hidupnya. Setelah taraf kedewasaan dicapai, manusia tetap melanjutkan
kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri. Kematangan diri adalah
kemampuan menolong diri sendiri, orang lain, dan terutama menolong kelestarian
alam agar tetap berlangsung dalam ekosistemnya. Antara manusia dan pendidikan
terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada dan karena
pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Dengan
kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara terus menerus, manusia mendapatkan
ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik yang universal-abstrak,
teoritis, maupun praktis. Nilai kebenaran ini selanjutnya mendorong
terbentuknya sikap perilaku arif dan berkeadilan. Lebih lanjut, dengan sikap
dan perilaku tersebut, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya. Kebudayaan,
baik yang material atau yang spiritual, adalah upaya manusia untuk mengubah dan
membangun keterhubungan berimbang baik secara horizontal maupun vertikal
(Suparlan, 2008:55-57).
Manusia
merupakan makhluk sosial. Manusia disebut makhluk sosial karena memiliki
faktor-faktor sebagai berikut :
- Sifat
ketergantungan manusia dengan manusia lainnya.
- Sifat
adaptabiliti dan intelegensi.
Sifat ketergantungan
manusia misalnya terlihat dari contoh seorang bayi yang dilahirkan, ia sangat
tergantung kepada pertolongan orang tuanya. Tanpa ada pertolongan dari kedua
orang tuanya, bayi tersebut akan meninggal. Manusia juga memiliki potensi untuk
menyesuaikan diri, meniru dan beridentifikasi diri, mampu mempelajari tingkah
laku dan mengubah tingkah laku (Burhanudin Salam, 2002:112).
2.2
Pengertian Eksistensi
Eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa
latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual.
Dari kata ex berarti keluar dan sistere yang berarti muncul atau timbul.
Beberapa pengertian secara terminologi, yaitu pertama, apa yang ada, kedua, apa
yang memiliki aktualitas (ada), dan ketiga adalah segala sesuatu yang di dalam
menekankan bahwa sesuatu itu ada (Lorens Bagus, 183:2005). Eksistensi berarti keberadaan. Cara manusia
berada di dunia berbeda dengan cara benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan
keberadaannya, tidak ada hubungan antara benda yang satu dengan benda yang
lainnya, meskipun mereka saling berdampingan. Keberadaan manusia di antara
benda-benda itulah yang membuat manusia berarti. Cara berada benda-benda
berbeda dengan cara berada manusia. Dalam filsafat eksistensialisme, bahwa
benda hanya sebatas “berada”, sedangkan manusia lebih apa yang dikatakan
“berada”, bukan sebatas ada, tetapi “bereksistensi”. Hal inilah yang menunjukan
bahwa manusia sadar akan keberadaanya di dunia, berada di dunia, dan mengalami
keberadaanya berada di dunia. Manusia menghadapi dunia, mengerti apa yang
dihadapinya, dan mengerti akan arti hidupnya. Artinya, manusia adalah subjek,
yang menyadari, yang sadar akan keberadaan dirinya dan barang-barang atau benda
yang disadarinya adalah objek (Ahmad Tafsir, 2006: 218-219). Menurut Abidin
Zaenal (2007:16) eksistensi adalah : “Eksistensi adalah suatu proses yang
dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi
itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau
mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau
kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada
kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”. Dengan demikian
eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan.
Bereksistensi berarti muncul dalam suatu perbedaan, yang harus dilakukan tiap
orang bagi dirinya sendiri. Eksistensi biasanya dijadikan sebagai acuan pembuktian diri
bahwa kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan seseorang dapat berguna dan
mendapat nilai yang baik di mata orang lain. Contoh di dalam lingkup sekolah
misalnya, eksistensi seorang siswa yang rajin akan selalu diingat oleh pengajar
dan lebih terlihat menonjol dibandingkan dengan siswa yang malas belajar.
Selain itu, eksistensi juga dianggap sebagai sebuah istilah yang bisa
diapresiasi kepada seseorang yang sudah banyak memberi pengaruh positif kepada
orang lain. (dalam
Galihbrawijaya, 2014: blogspot.co.id)
2.3 Tahap-Tahap Eksistensi Manusia
1. Tahap Estetis
Tahap
estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk
mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri
seksual, oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistik dan biasanya bertindak
menurut suasana hati. Kierkegaard mengambil sosok Don Juan sebagai model
manusia estetis. Don Juan hidup sebagai hedonis yang tidak mempunyai komitmen
dan keterlibatan apapun dalam hidupnya. ia tidak mempunyai antusiasme dalam menyikapi suatu persoalan. Tidak
ada cinta, dan tidak ada ketertarikan. Cinta dan Pernikahan adalah hambatan
untuk petualangan dan untuk “kebebasan”, biasanya dianggap mengurangi
kesenangan dan kepentingan pribadinya.
Manusia
estetis pun adalah manusia hidup tanpa tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan
isi dalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan
masyarakat dan zamannya. Yang menjadi gaya hidup dalam masyarakat menjadi
petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara seksama. Namun semuanya
itu tidak dilandasi antusiasme apapun selain keinginan untuk sekedar mengetahui
dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat
kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidup dan moralitasnya ada pada masyarakat
dan kecenderungan zamannya.
Manusia
Estetis terdapat di mana saja dan kapan saja. Manusia estetis bisa mewujud pada
siapa saja, termasuk pada para filsuf dan ilmuwan, sejauh mereka tidak
mempunyai antusiasme, komitmen dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya. Mereka
hanya mengamati dan mendeskripsikan setiap kejadian yang mereka alami dalam
kehidupan, tanpa berusaha untuk melibatkan diri kedalam realitas hidup yang
sesungguhnya.
Jika
manusia hidup secara hedonis dan tidak mempunyai antusiasme dan keterlibatan,
lalu apa yang sebetulnya terjadi dalam jiwa mereka? keputusan! manusia estetis
tidak mempunyai pegangan yang pasti dan niscaya, yang bisa dijadikan sebagai
akar atau tambatan yang kokoh dalam menjalankan hidupnya. Manusia estetis tidak
tahu lagi apa yang sebetulnya diinginkannya, karena hidupnya tergantung pada suasana hati dan pada gaya hidup dalam
masyarakat dan zamannya. Manusia estetis adalah manusia yang pada akhir
hidupnya hampir tidak bisa lagi
menentukan pilihan, karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat
dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua bunuh diri atau masuk dalam
tingkatan yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.
2. Tahap Etis
Memilih
hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi
etis. Ada semacam “pertobatan” di sini, di mana individu mulai menerima
kebijakan-kebijakan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip
kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan
menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam
kaitannya dengan pernikahan, manusia etis sudah menerimanya. Pernikahan
merupakan langkah awal perpindahan dari eksistensi estetis ke eksistensi etis.
Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi
nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.
Selain
dari itu, jiwa individu etis sudah mulai terbentuk, sehingga hidupnya tidak
lagi tergantung pada masyarakat dan zamannya. Akar-akar kepribadiannya cukup
kuat dan tangguh. Akar kehidupannya ada di dalam dirinya sendiri, dan pedoman
hidupnya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, dengan berani
dan percaya diri, ia akan mampu mengatakan “tidak” pada setiap gaya hidup yang
tumbuh berkembang dalam masyarakat dan zamannya, yang tidak sesuai dengan “suara hati” dan kepribadiannya. Manusia etis
pun akan sanggup menolak kuasa dari luar, baik yang bersifat represif maupun
nonrepresif, sejauh kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap
kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras.
Oleh sebab itu, sosok yang dipilih Kierkgaard sebagai model dari hidup etis
adalah Socrates. Socrates adalah manusia yang bersedia mengorbankan dirinya
dengan minum racun, untuk mempertahankan keyakinan mengenai nilai kemanusiaan
yang sangat luhur. Ia adalah sosok yang sadar akan peran dan otonomi individu,
subjek atau “aku” dalam menerima kebenaran. Berdasarkan keyakinan pribadinya,
ia menolak setiap kuasa atau sistem kekuasaan yang dinilainya bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
Namun
sosok Socrates belum sampai ke tahap eksistensi yang sesungguhnya. Realitas
tempat ia menceburkan dirinya baru realitas duniawi, realitas fana. Jadi, ia baru akan “merasa bersalah” seandainya,
karena keterbatasannya, ia tidak berhasil memenuhi panggilan kemanusiaannya. Ia
belum sampai pada tahap yang lebih tinggi, yakni tahap religius, di mana
manusia mulai dihadapkan dengan Tuhan dan kegagalan yang diterima sebagai
“dosa”.
3.
Tahap religius
Keotentikan
hidup manusia sebagai subjek atau “aku”
baru akan tercapai seandainya individu, dengan “mata tertutup”, lompat
dan meleburkan diri kedalam dalam realitas Tuhan. Lompatan dari tahap etis ke
tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap
etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang
mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan dari tahap etis ke tahap religius
nyaris tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau
pertimbangan rasional dan ilmiah di sini. Diperlukan hanyalah keyakinan
subjektif yang berdasarkan pada iman.
Perbedaan
lainnya terletak pada objektivitas dan subjektivitas nilai. Nilai –nilai
kemanusiaan pada tahap etis masih bersifat objektif (universal), sehingga ada
rujukan yang bisa diterima secara rasional.
Sebaliknya, nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga
seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak mengherankan kalau sikap dan
perilaku manusia religius sering dicap “tidak masuk akal”.
Hidup
dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektif transenden, tanpa rasionalisasi dan
tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi. Individu yang hendak memilih
jalan religius tidak bisa lain kecuali berani menerima subjektif transendennya
itu subjektivitas yang hanya mengikuti jalan Tuhan dan tidak lagi terikat baik
pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal (eksistensi etis) maupun
pada tuntutan pribadi masyarakat atau zaman (tahap estetis)
Kesulitan
atau hambatan yang pertama-tama dijumpai oleh individu saat memutuskan untuk
lebur dalam Kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan
sendiri. Tuhan dan perintah-perintah-Nya adalah suatu yang paradoks. Persoalan
tentang ada atau tidak adanya Tuhan, dan
persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan misalnya, (“Jika Tuhan itu ada dan
Maha Baik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?”) merupakan salah
satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan. Tidak mungkin ada penjelasan
rasional untuk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan sesuatu
yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan keyakinan subjektif yang
berdasarkan pada iman saja individu bisa menerima paradoks itu.
Sosok
Ibrahim, yang oleh Kierkegaard ditempatkan sebagai manusia religius ideal,
dapat membantu kita memahami apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard dengan keyakinan
subjektif yang berdasarkan iman itu. Ibrahim bersedia mengorbankan anaknya.
Meskipun dalam masyarakat dan moralitas kemanusiaannya perbuatan itu “salah”
dan tidak manusiawi, tetapi ia yakin bahwa justru ia akan “berdosa” kalau tidak
mengikuti perintah Tuhan itu. Apa yang bersifat duniawi harus dikorbankan untuk
sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang yang transenden, yakni perintah Tuhan .
Tantangan
berikutnya dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah
kecemasan yang mencekam dan mengetarkan. Berbeda dari ketakutan, kecemasan
bersifat metafisik. Kecemasan terarah pada sesuatu yang tidak nyata, tidak
pasti, tidak berketentuan, tidak berujung pangkal. Memutuskan untuk masuk
kedalam paradoks Tuhan ibarat memutuskan untuk masuk kedalam sebuah hutan yang
belum diketahui manusia, yang tidak bertuan, dan tidak pernah terjamah tangan
manusia. oleh sebab itu, sebelum memutuskan untuk memasukinya, akan timbul rasa
was-was, rasa cemas yang mencekam. Hanya dengan keyakinan pribadi yang kuat dan
teguh saja, yang sering tidak rasional, kita baru berani memasukinya. Demikian
pula, hanya dengan keyakinan pribadi yang berlandaskan iman, kita berani
menceburkan diri dalam Tuhan, dengan rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan
berakhir dalam kebahagiaan abadi, jika dia sudah berada dalam eksistensi yang
religius.
2.4
Dimensi-Dimensi Eksistensi Manusia
Secara filosofis
hakikat manusia merupakan kesatuan integral dari potensi-potensi esensial yang
ada pada diri manusia, yakni:
a. Manusia Sebagai Mahluk Individu
Tidak ada orang yang dilahirkan persis
sama, walaupun pada anak kembar sekalipun. Jadi dari lahir masing-masing sudah
ada pembawaannya tidak ada duanya. Demikian juga dengan apa yang mereka alami
dari lingkungan. Anak kembar yang berada pada satu telurpun tidak ada
kepribadian yang persis sama. Tiap-tiap anak mempunyai sifat kepribadian yang
unik. Oleh karena itu, merekapun masing-masing tidak akan ada duanya. Setiap
orang mempunyai kekhasan.
Setiap orang ingin mengaktualisasi
dirinya, artinya mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya sendiri.
Dia sadar akan individualitasnya, dia mempunyai jati dirinya sendiri. Dia ingin
menjadi dirinya sendiri. Dia mengalami pengaruh yang tidak disengaja dan banyak
pengaruh yang disengaja.
Akan tetapi, anak itu juga mengambil
jarak, dia memilih, mempertahankan diri dan sebagainya. Pengaruh-pengaruh itu
diolahnya secara sangat pribadi dan apa yang diterimanya menjadi bagian dari
dirinya sendiri, dia seorang individu. Dalam pendidikannya yang sengaja itu,
pendidik harus berjaga-jaga, agar dia tidak terlalu ingin memaksakan
kemauannya, karena pada anak ada suatu prinsip pembentukan yang ditentukan oleh
pribadinya sendiri. Prinsip inilah yang mengasimilasikan pengaruh-pengaruh
kependidikan yang sengaja itu, serta memimpin dan mengembangkan apa yang
menjadi bagian dari dirinya. Pendidik seharusnya menghormati individualitas
anak, kepribadiannya, keunikan, dan martabatnya. Namun untuk perkembangan
dirinya, mengaktualisasikan dirinya sebagai individu, anak memerlukan
pendidikan.
b. Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Anak
menemukan akunya, membedakan antara akunya dan aku orang lain yang ada
disekitarnya dalam pergaulan. Sewaktu dia masih bayi, anak mulai merasa satu
dengan orang-orang dalam lingkungan dekatnya, terutama ibunya. Baru kemudian
dia membedakan dirinya, akunya dari ibunya dan aku-aku yang lain itu. Dia
dipelihara, dilindungi, dan diajak berkomunikasi. Semua ini menunjukan, bahwa
manusia itu adalah mahluk sosial. Untuk kebutuhan-kebutuhan fisiknya pun, dia
memerlukan perhatian dan bantuan dari orang lain.
Manusia
itu adalah mahluk sosial dan sekaligus mahluk individu, sebagai manusia dia
kedua-duanya dalam kesatuannya sebagai suatu pribadi. Sebagai mahluk sosial individualitasnya
hendaknya tetap terpelihara secara utuh. Pidarta (1997:147) mengemukakan bahwa
untuk hidup bersama-sama dengan orang lain. Dalam setiap kehidupan yang
berhasil, masing-masing mendapat keuntungan dari apa yang diperolehnya dari
orang lain. Setiap kehidupan yang sepenuhnya manusiawi mencakup sebagai suatu
bagian yang esensial dari dirinya, banyak unsur yang harus datang dari
orang-orang lain. Keakuan manusia betul-betul banyak bergantung pada
konstribusi-konstribusi esensial dari orang-orang lain.
Untuk
tumbuh dan berkembang secara wajar dan berhasil sebagai anggota kelompok
sosialnya, anak manusia memerlukan hubungan dengan orang lain. Untuk sebagian,
tujuan pendidikan adalah membantu perkembangan sosial dari anak, agar dia
mendapat tempat, menyesuaikan diri, serta mampu berperan sebagai anggota yang
cakap bekerja sama dan konstruktif dalam masyarakat. Seandainya manusia itu
tidak dilihat dan diakui sebagai mahluk sosial, maka ini berarti bahwa anak
pada hakikatnya tidak dapat dipengaruhi, dan karena itu tidak dapat didik,
janganlah sekali-kali dilupakan, bahwa pendidikan adalah suatu peristiwa
sosial.
c. Manusia Sebagai
Mahluk Susila
Telah
dikemukakan bahwa manusia dapat membedakan antara baik dan jahat. Begitupula
dia dapat membedakan antara yang pantas dan yang tidak pantas. Dapatnya manusia
membuat perbedaan antara baik dan jahat, betul dan salah, pantas dan tidak
pantas, berarti bahwa dia dapat memperoleh pengetahuan tentang hal-hal itu.
Menjadi persoalan adalah apakah manusia dapat mengarahkan tingkah laku dan
kehidupan menurut apa yang diketahuinya sebagai hal yang baik, betul atau
pantas. Sehingga kita menilai seseorang itu dari tindakan susilanya bukan
karena pengetahuan susilanya.
Manusia
susila adalah manusia yang memiliki, menghayati, dan melakukan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam hal ini, manusia mengkristalisasikan dan mengintegrasikan
pengalaman dan penghayatan pengalaman berharga bagi kehidupan menjadi satu
pandangan hidup, sehingga tersusun dalam satu-kesatuan yang hierarki yang
disebut sistem nilai-nilai (Dryarkara, 1980:46). Berkenaan dengan sumber-sumber
nilai, termasuk nilai-nilai susila, yang antara lain menjadi pedoman bagi apa
yang harus kita lakukan. Satu pendapat menyatakan bahwa nilai-nilai demikian
mempunyai dukungan religius dan sifatnya absolut. Menurut pendapat ini, ada
suatu kaitan yang tidak terelakkan dan merupakan keharusan antara komitmen
religius dan perbuatan yang betul dan tepat.
Pendapat
yang lain adalah nilai-nilai itu merupakan perbuatan manusia. Penganut pendapat
ini terbagi dua, (1) mereka yang mengatakan, bahwa nilai-nilai itu tidak boleh
diubah dan (2) mereka yang menyatakan, bahwa nilai-nilai itu mungkin saja
berubah, misalnya berubahnya tuntutan zaman atau situasi. Pendidikan mencakup
pengajaran dan pelaksanaan nilai-nilai. Isi pendidikan ialah tindakan-tindakan
yang membawa anak didik mengalami dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan,
menghargai dan meyakininya, sehingga anak didik membangun nilai-nilai
kemanusiaan itu ke dalam kepribadiannya.
Dilihat
dari segi lain, pendidikan adalah usaha dalam membantu anak dalam menajamkan
kata hatinya. Bagaimanapun kita mengatakannya yang jelas adalah, bahwa pendidikan
itu adalah suatu peristiwa yang normatif. Esensi dari pendidikan adalah moral.
d. Manusia Sebagai
Mahluk Religius
Sejak dahulu kala manusia percaya,
bahwa di luar apa-apa yang dapat dijangkau melalui alat inderanya, di luar alam
ini, ada kekuatan-kekuatan yang disebut termasuk yang supernatural. Dahulu
orang menciptakan mitos-mitos untuk memahami kekuatan-kekuatan dan hubungannya
dengan manusia. Untuk mendamaikan atau melunakkan sikap kekuatan-kekuatan itu,
orang melakukan bermacam-macam upacara, memberikan korban-korban, dan
menyediakan sesajen-sesajen. Kemudian
manusia dianugerahi dengan ajaran-ajaran yang dipercayainya adalah wahyu
dari Tuhan melalui nabi-nabi demi keselamatan manusia itu. Manusia pada
dasarnya homo religioso (mahluk yang religius). Tugas dari pendidikan adalah
menemukan dan mendalami yang baik itu berdasarkan pengkajian ajaran agama dan
mengajarkan anak-anak untuk mengetahui dan mengikutinya. Arbi (1988,135-136)
mengemukakan bahwa yang mungkin menjadi persoalan bagi seseorang adalah apakah
sekolah akan mengajarkan sesuai pengetahuan belaka atau juga harus sampai
kepada inisiasi, penerimaan atau pemantapan dan penguatan penerimaan
pernyataan-pernyataan dan sistem kepercayaan agama tertentu. Perbedaannya
disini lebih baik dikemukakan antara apakah sekolah harus memberikan pengajaran
agama atau pendidikan agama.
Mereka yang menghendaki pendidikan
agama merasa, bahwa pengajaran agama, meskipun sangat perlu, bahkan esensial
sebagai modal bagian kognitif dari perkembangan keagamaan yang tidak memadai. Pendidikan
agama lebih dari suatu pengkajian tentang agama, melainkan agar mereka berpikir
dan merasa secara keagamaan serta secara sepenuh hati dan taat melakukan
agamanya. Anak-anak mempunyai kemampuan untuk menghayati pengalaman mereka
tentang diri mereka dan dunianya menurut agamanya masing-masing. Metode-metode
memperoleh pemahaman agama bermacam-macam, termasuk pengajaran agama,
sembahyang dan doa, meditasi, komitmen aktif dan praktek ritual.
Untuk dapat menjalankan kehidupan religius,
jelaslah anak memerlukan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian,
latihan-latihan dan ritual-ritual, yang akhirnya diharapkan akan membantu dia
ke arah penyatuan diri dengan Tuhan. Jadi pada manusia terdapat beberapa
dimensi, yaitu: dimensi keindividualan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan,
dan dimensi keagamaan.
2.5 Pengembangan Dimensi-Dimensi Manusia Dalam Proses Pendidikan
a. Pengembangan Diri Sebagai Makhluk
Individu
Pengembangan
diri sebagai mahluk individu, berarti pendidikan membantu anak itu menjadi
dirinya sendiri, dia dikembangkan menjadi suatu pribadi yang utuh karena tidak
ada orang yang dilahirkan persis sama, setiap individu itu berbeda. Mengapa
perlu dikembangkan keindividualan itu karena anak harus mempunyai kepribadian
(pola tingkah laku) yang membedakan dia dengan pribadi lainnya. Seandainya itu
disamakan semua, maka tidak ada lagi namanya kepribadian, tidak ada lagi
namanya jati diri dan seandainya hal ini sampai terjadi, maka berarti
penginjakan hak asasi manusia, pengabaian terhadap harkat dan martabat manusia.
Pengembangan manusia sebagai mahluk individu bukan berarti mengembangkan sifat
ego (egois) manusia. Mengembangkan manusia sebagai mahluk individu agar ia
menjadi dirinya sendiri bukan meniru orang lain, agar ia mempunyai makna atas
keberadaannya itu. Pendidikan harus berusaha mengembangkan peserta didik untuk
mampu menolong dirinya sendiri, untuk memupuk rasa tanggung jawab, untuk itu
perlu mendapatkan berbagai pengalaman dalam pengembangan konsep, prinsip generalisasi,
intelek, inisiatif, kreatifitas, kehendak perasaan dan keterampilan, semua ini
hanya diperoleh melalui pendidikan dan pembelajaran.
b. Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk
Sosial
Untuk
membimbing pertumbuhan anak-anak pada perkembangan sikap sosial, yang
diperlukan juga untuk menjamin kemajuan masyarakat mereka memerlukan
pendidikan, warisan sosial, warisan kebudayaan harus ditransmisikan sedemikian
rupa sehingga merangsang perkembangan sosial anak yang sebaik-baiknya. Sebagai
tujuan pendidikan membantu perkembangan sosial anak agar ia mendapat tempat di
masyarakat dan dapat bekerja sama secara konstruktif dalam masyarakat.
Manusia
adalah mahluk selalu berinteraksi dengan sesamanya, tidak dapat mencapai apa
yang diinginkannya secara seorang diri saja. Kehadiran manusia lain di
hadapannya bukan saja penting untuk mencapai tujuan hidupnya tetapi juga
merupakan sarana pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Kehidupan sosial
antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dimungkinkan tidak saja oleh
kebutuhan pribadi tetapi juga karena adanya sebagai alat medium komunikasi
yaitu bahasa.
c. Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk
Sosial
Hanyalah
manusia yang dapat menghayati norma-norma di dalam kehidupannya sehingga
manusia dapat menentukan tingkah laku mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Setiap masyarakat dan bangsa mempunyai norma dan nilai tertentu. Tidak dapat
dibayangkan bagaimana jadinya seandainya dalam kehidupan manusia tidak terdapat
norma dan nilai, sudah pasti kehidupan masyarakat tidak teratur dan penuh
kekacauan, hukum rimba pasti akan mudah berlaku.
Melalui
pendidikan kita harus mampu membina manusia susila dan bermoral karena esensi
dari pendidikan itu adalah moral. Melalui pendidikan kita harus mengusahakan
peserta didik menjadi manusia pendukung norma, kaidah, dan nilai susila yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat. Norma, nilai dan kaidah tersebut harus
menjadi bagian yang integral dalam pribadi setiap warga masyarakat, dengan kata
lain norma, nilai, kaidah harus menjadi hak milik, harus menginternalisasi dan
dipersonifikasikan dalam tingkah laku tiap pribadi individu. Sebenarnya aspek
susila kehidupan manusia sangat berhubungan erat dengan aspek kehidupan sosial,
karena penghayatan atas norma, nilai dan kaidah susila pelaksanaannya dalam
tindakan dan tingkah laku yang nyata dilakukan oleh individu dalam hubungan
dengan kehadirannya bersama orang lain. Aspek susila ini tidak hanya memerlukan
pengetahuan atas norma, nilai dan kaidah yang berada dalam masyarakat, akan
tetapi juga menuntun dilaksanakannya secara nyata. Pentingnya pengetahuan dan
tingkah laku susila secara nyata dalam masyarakat mempunyai dua alasan pokok
yaitu:
1.
Untuk kepentingan dirinya sebagai individu
Apabila
individu tidak dapat menyesuaikan diri dan tingkah lakunya dengan norma, nilai
dan kaidah yang ada di dalam masyarakat dimana ia hidup, maka dia tidak dapat
penerimaan dari masyarakat.
2.
Upaya kepentingan stabilitas kehidupan masyarakat
Masyarakat
tidak saja merupakan kumpulan individu tetapi lebih dari itu. Kebersamaan
individu di dalam suatu tempat yang kita sebut masyarakat di dalamnya terdapat
aturan-aturan main yang mengatur tingkah laku individu-individu tersebut.
Norma, nilai dan kaidah merupakan hasil persetujuan bersama untuk dilaksanakan
dalam kehidupan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian
kelangsungan kehidupan masyarakat tersebut sangat tergantung terhadap norma,
nilai dan kaidah yang dipertahankan.
d. Pengembangan Manusia Sebagai Mahluk Religius
Pendidikan
agama lebih dari pengkajian tentang agama, yang dituju bukanlah hanya agar
peserta didik mampu berpikir dan berbicara tentang agama, melainkan agar mereka
berpikir dan merasa secara keagamaan serta secara sepenuh hati dan taat
melakukan ibadah agamanya. Pengembangan mahluk religius dapat dilakukan dengan
bermacam-macam metode, tetapi hanya yang memegang peranan penting adalah metode
yang dapat menyentuh aspek afektif, karena masalah agama selain dipentingkan
pengajaran (kawasan kognitif) tetapi lebih dipentingkan kawasan afektif (yang
menyangkut keimanan). Untuk dapat menjalankan kehidupan yang religius jelaslah
peserta didik membutuhkan pendidikan yang mengandung pengkajian-pengkajian,
latihan-latihan dan ritual yang akhirnya diharapkan akan membantu dia ke arah
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. Setiap manusia Indonesia dituntut untuk
dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan Allah sebaik-baiknya menurut keyakinan
yang dianutnya masing-masing serta untuk melaksanakan hubungan dengan sesama
manusia.
Keempat
dimensi tersebut hanya dapat diwujudkan dan dilaksanakan melalui pendidikan,
sehingga dapat disimpulkan tanpa pendidikan tidak dapat diaktualisasikan
keempat aspek eksistensi manusia diatas. Keluarga, sekolah dan masyarakat
mempunyai tanggung jawab besar terhadap pengembangan dimensi-dimensi tersebut
karena disamping harus ada pengajaran agama tetapi yang lebih penting adalah
pendidikan agama yang sampai menyentuh kualitas keyakinan seseorang terhadap
agama yang dianutnya. Dalam hal ini keteladanan merupakan salah satu cara yang
paling efektif dalam mengembangkan iman dan taqwa. Jadi pendidikan agama harus
dapat mengusahakan agar peserta didik mengetahui, memahami, menghayati, dan
menginternalisasi ajaran agama itu kedalam dirinya dan mengamalkan melalui
ibadah-ibadahnya dalam kehidupannya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
. Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia dapat menggunakan
akal dan budinya untuk bertindak baik. Dengan akal dan budi itulah manusia meyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia berusaha melakukan hal baik dengan cara
melakukan perintah Tuhan dan menjauhi bahkan tidak melakukan hal yang menjadi larangan Tuhan. Pentingnya
memahami eksistensi manusia dalam filsafat pendidikan karena pendidikan tidak
bisa dilepaskan dari manusia. Pendidikan itu sendiri merupakan kebutuhan
manusia. Satu-satunya makhluk yang bisa mendidik dan dididik adalah manusia.
Pemahaman tentang eksistensi manusia juga penting karena guru dan murid sebagai
manusia merupakan dua di antara beberapa unsur dalam pendidikan. Sehingga, melalui pendidikan tenaga pendidik
harus mengusahakan peserta didik mengembangkan keempat dimensi manusia dalam
proses pendidikan yaitu: pengembangan diri
sebagai mahluk individu, pengembangan manusia sebagai makhluk sosial,
pengembangan manusia sebagai makhluk susila, pengembangan manusia sebagai
makhluk religius.
3.2
Saran
Bagi masyarakat individu, individu akan semakin memahami
bagaimana setiap individu mendalami dunianya. Tiap individu tahu bagaimana
harus bersikap terhadap sesamanya. Bagaimana bersyukur kepada Tuhan yang telah
menciptakannya. Bagi tenaga pendidik, tenaga pendidik dapat mengembangkan
metode pembelajaran terhadap peserta didik dengan mengembangkan empat dimensi-dimensi
manusia dalam proses pendidikan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar